Candi Borobudur adalah magnet yang kuat bagi kehidupan di alam semesta yang luas ini, dari dimensi ilmu pengetahuan, agama, spiritual, kehidupan sosial, ekonomi, budaya, wisata dan hal lain, seakan terhubung dengan Candi Buddha yang penuh misteri ini.
Banyak spekulasi muncul atas Candi ini, karena pembangunannya sangat sulit dinalar oleh ilmu pengetahuan yang telah maju seperti saat ini, dimana ilmu pengetahuan berada pada era digital. Pembuatan miniatur Candi Borobudur pun dibuat untuk mencoba menguak dari sisi konstruksi dan arsitektur, namun tetap tidak bisa ditemukan jawabnya. Kecuali hanya asumsi dan spekulasi atas temuan-temuan yang ada.
Candi yang juga diklaim peninggalan Nabi Sulaiman yang dihadiahkan untuk Ratu Bilqis ini ternyata didirikan di danau purba. Apakah benar dan bagaimana jawabannya secara ilmiah. Mari kita simak paparan di bawah ini.
Fakta Borobudur
Beberapa fakta sejarah membuktikan bahwa Candi Borobudur didirikan di danau purba. Hal ini tentunya mengejutkan bagi banyak kalangan, karena tentunya tidak akan menyangka dan sulit membayangkannya mengingat keadaan sekarang ini. Apalagi melihat Borobudur di tengah kehijauan alam dataran Kedu. Dugaan tersebut tidak mengada - ada dan sangat mendasar bila dulu kawasan di sekeliling Borobudur adalah danau purba.
Biasanya
candi-candi dibangun di atas tanah datar, namun eloknya, Borobudur
dibangun di atas bukit dengan ketinggian 265 m (870 kaki) dari permukaan
laut dan 15 m (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering.
Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di
kalangan arkeolog pada abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa
Borobudur dibangun di pinggiran atau bahkan di tengah - tengah danau.
W.O.J.
Nieuwenkamp (1931), seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu - Buddha,
mengajukan teori bahwa Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau dan
Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di atas
permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma (teratai merah),
utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai putih) dapat ditemukan
dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali digenggam oleh
Boddhisatwa sebagai laksana (lambang regalia), menjadi alas duduk
singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk arsitektur Borobudur
sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di Borobudur
melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah
keagamaan Buddha mahzab Mahayana (aliran Buddha yang kemudian menyebar
ke Asia Timur). Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga
melambangkan kelopak bunga teratai. Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang
terdengar luar biasa dan fantastis ini banyak menuai bantahan dari para
arkeolog; pada daratan di sekitar monumen ini telah ditemukan
bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur
pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau
purba.
Sementara itu
pakar geologi justru mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan
bukti adanya endapan sedimen lumpur di dekat situs ini. Sebuah
penelitian stratigrafi, sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang
dilakukan tahun 2000 mendukung keberadaan danau purba di lingkungan
sekitar Borobudur, yang memperkuat gagasan Nieuwenkamp. Ketinggian
permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari waktu ke waktu,
dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah kembali
terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14.
Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut merubah
bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk
danaunya. Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah
Gunung Merapi yang terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif
sejak masa Pleistosen.